Oh aku kini rindu
Pada satu nama yang berjasa
Tuhan beri kekuatan
Untuk mendidikku
selamanya
Ku pohon restu kasih-Mu
Ampunkanlah guru-guruku
........(Inteam-Lilin
Seorang Guru)
Bagaimana perasaan seorang guru jika setiap murid yang
pernah ia didik
memanjatkan doa kebaikan untuknya.
Tentu
sangat
membahagiakan bukan. Betapa
bersyukurnya jika
mereka
masih
selalu mengenang dan
mengambil inspirasi pelajaran yang
pernah ia sampaikan dahulu sehingga pahala selalu mengalir untuknya. Mereka selalu mengenang kebaikan para gurunya dan hampir tidak pernah memperhitungkan kesalahan yang
diperbuat. Betapa membanggakannya. Itulah harapan dari semua orang yang
pernah
merasakan dirinya menjadi seorang pendidik.
Namun demikian, marilah kita lihat fenomena yang terjadi saat ini. Jika kita bertanya pada sekian siswa yang
sedang menjalani pendidikan, maka jangan heran bila
kita dapati sebagian besar
siswa akan mengatakan bahwa gurunya killer, gurunya
sudah membosankan, gurunya sudah
jarang turun ditambah cuma
ngasih tugas melulu, dan
sebagainya. Intinya mereka mengatakan bahwa guru yang mengajar mereka belum dapat
”memuaskan” mereka dalam
memahami ilmu dan kehidupan.
Berawal dari fenomena
ini,
kita dapat menelusuri jejak-jejak para guru
berasal. Kita batasi saja bahwa
mereka
berasal dari kampus ilmu pendidikan.
Lebih khusus lagi mereka
berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau yang sepadan
dengannya.
Saat ini, suasana
kehidupan dunia pendidikan di Indonesia umumnya
mulai mengalami degradasi dari segi moral. Realita bahwa
profesi
guru adalah profesi yang menjanjikan kesejahteraan semakin memperburuk
wajah universitas yang bertugas menelurkan calon-calon pendidik masa depan
di Indonesia ini. Disadari
atau tidak, sekarang orang mulai berlomba-lomba untuk
meraih profesi ”mulia” ini meskipun harus mengorbankan kejujuran dan
nilai-nilai kemuliaan itu sendiri. Dan esensi menjadi seorang pendidik yang ”sebenarnya” seolah
tersisihkan oleh lekangan
kepribadian
mentah.
Kesempurnaan penciptaan manusia dibanding makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah adanya bekal cipta, rasa
dan
karsa. Kesempurnaan fisik yang
dianugerahkan, kecerdasan otak dan bersemayamnya hati dalam diri kita,
sepatutnya disyukuri. Adanya bekal yang tidak perlu dibeli itu, akan berkembang positif bila diolah
berdasarkan keinginan dan kemauan untuk
belajar. Menilik hal tersebut, guru yang
”digugu dan ditiru” harus ingat dengan
tugasnya
sebagai pendidik profesional. Tidak hanya cerdas dalam penguasaan
materi, terampilnya berkomunikasi dan berinteraksi,
tetapi
jangan menyisihkan kecerdasan moral yang akan menjadi cermin siswa dalam berperilaku.
Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
manusia,… . Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Norma moral adalah
tolok ukur untuk
menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku
peran tertentu dan terbatas. (Bambang
Santoso dkk, 2006:69). Dalam kamus psikologi, dinyatakan bahwa karakter
adalah keprbadian ditinjau dari
titik tolak etis atau
moral (Dali Gulo, 1982:29).
Jadi, dari
kedua pernyataan di atas dapat
dikatakan bahwa
baik buruknya perilaku manusia secara tidak langsung menunjukkan karakter dari manusia tersebut.
Dalam fase
kehidupan manusia seorang pendidik
mempunyai andil
pada proses pembentukan karakter. Guru yang
memiliki makna “digugu
lan ditiru” (dipercaya dan dicontoh)
secara tidak langsung juga memberikan
pendidikan karakter pada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan
penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa
peseta
didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. (M. Furqon Hidayatullah,2009:15)
Untuk dapat
mengarahkan peserta
didik dalam membentuk
karakter
yang kuat dalam dirinya, seorang
pendidik diharpkan menjadi pendidik yang
inspiratif. Pendidik yang
keberadaannya memberikan semangat berkreativitas dan menjadi inspirasi bagi para peserta
didiknya. Dwi Budiyanto dalam
bukunya
yang berjudul Prophetic
Lerning,
mengungkapkan beberapa
ciri guru yang inspiratif,
yaitu: aktif, dialogis dalam berkomunikasi di dalam kelas
sehingga tidak hanya satu arah dari guru saja,
fokus pada potensi yang dimiliki oleh mitra belajar, memberikan pemecahan masalah (hasil) dengan menerapkan struktur
berfikir
ilmiah, menerapkan berbagai macam cara
dalam mengajar, dan
menganggap orang lain
sebagai sahabat
dan mitra belajar.
tugas akhir mahasiswa baik dalam
bentuk paper atau dalam bentuk penelitian skripsi
bukan menjadi sebuah
maha karya
bagi
sang
mahasiswa melainkan
menjadi mega proyek
bagi
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
(PENDIDIKAN KEGURUAN YANG LEPAS KENDALI, Ftaman’s
Blog)
Mahasiswa ternyata juga berperilaku tidak jauh berbeda dengan siswa. Sepertinya
kebiasaan mencontek telah
terdidik sejak
mereka masih
sebagai siswa…. (Mahasiswa
dan
Nyontek, Wayan
Suana’s Blog, 12 Desember 2009)
Di Semarang seorang guru bernama
Rusmiati menghukum muridnya untuk memakan kertas.
Kertas yang seharusnya digunakan untuk membuat model ketrampilan tangan itu harus dimakan para murid kelas 3B SDN Purwosari 02A-B, bila tidak mereka tidak diperbolehkan mengikuti ujian tengah semester.
Kertas yang seharusnya digunakan untuk membuat model ketrampilan tangan itu harus dimakan para murid kelas 3B SDN Purwosari 02A-B, bila tidak mereka tidak diperbolehkan mengikuti ujian tengah semester.
Sayang setelah memakan kertas
itu, mereka tetap saja tidak boleh mengerjakan ujian sekolah.
Guntur bin Slamet, seorang guru
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Bekasi, Jawa Barat, tega menggauli
siswanya di dalam kelas. Atas perbuatannya, guru MI itu pun digelandang
petugas.
http://jakarta.okezone.com/komentar/read/2012/05/10/500/627588/guru-sd-setubuhi-siswa-di-ruang-kelas (online)
Guru, konon katanya digugu dan
ditiru. Barangkali itu dulu. Tapi sekarang?. Nanti dulu. Walau pun saya yakin
masih banyak guru yang jujur dan bermoral tinggi tapi rasa-rasanya tidak
sedikit pula yang sudah krisis moralitas di kalangan mereka, khususnya sudah
keranjingan materi dan menjadi korup. Padahal, beliau-beliau punya gelar
akademis mulia seperti S.Pd atau M.Pd.http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/08/krisis-moralitas-guru-kini/ (online)
Kalau
selama ini ada peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka
saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau peribahasa tersebut menjadi “Guru
cabul, murid ….”. Tidak perlu diteruskan, karena yang kita inginkan hal itu
tidak terulang lagi di
lembaga pendidikan kita. Lalu bagaimana solusinya?
Apakah seorang guru, khususnya guru pria mesti menjalani tes kejiwaan dan
psikologi layaknya seorang polisi yang akan memegang senjata api? Tentunya yang
kita harapkan jangan sampai separah itu, bukan? http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/04/cabul-profesionalisme-oknum-guru-dipertanyakan/ (online)
Dari beberapa kutipan artikel di atas, dapat dilihat bahwa
kondisi moral mahasiswa sebagai calon pendidik perlu mendapatkan perhatian. Hal ini juga menunjukkan terjadinya ketidakseimbangan antara pengembangan pendidikan hati (moral) dan akal (kecerdasan) yang secara fitrah melekat pada manusia. Penurunan kualitas moral mahasiswa
sebagai calon pendidik ini terjadi karena kurangnya kesadaran mahasiswa sebagai calon pendidik untuk
menaati nilai dan moral yang
ada di lingkungan sekitar, keadaan ini diperparah oleh kurangnya
upaya
penanaman
nilai
dan moral
oleh
orang-orang dewasa disekitarnya.
Dalam perkembangannya, peran dari orang-orang
dewasa sebagai
tempat berinteraksi sangat berpengaruh.
Perkembangan moral tidak bergantung
terutama pada upaya-upaya
pendidikan karakter yang eksplisit tetapi pada kematangan
dan kapasitas etis orang-orang
dewasa
yang menjadi
teman
mereka berinteraksi khususnya orangtua, tetapi juga guru, pendamping dan
orang-orang dewasa dalam masyarakat
lainya.(Robert
E.Slavin,
2008:78)
Mahasiswa yang dipersiapkan sebagai calon pendidik dirasa perlu
mendapatkan penekanan khusus mengenai pendidikan moral sebagai bekal untuk
menjadi “orang-orang dewasa” yang
nantinya akan berinteraksi dengan
peserta didik.
Pemahaman seseorang akan pentingnya moral sangat berpengaruh
terhadap pembentukan karakter orang tersebut.
Dengan asumsi
yang sama,
ketika calon pendidik memiliki karakter yang kuat maka akan terbentuk anak didik yang berkarakter kuat
pula.
Upaya
untuk mengurangi degradasi moral dikalangan Guru
dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1.
Secara implisit, yakni dengan menyisipkan nilai – nilai moral di setiap
perkuliahan.
Misal: Dalam mata kuliah
IPA. Pada pembahasan materi Hukum
Newton I yakni tentang
kekonsistenan gerak pada benda, nilai
moral yang dapat
disisipkan.
Contoh:
Ketika kita
berboncengan,
saat
motor menikung ke kiri, maka tubuh
kita akan lebih
condong ke mana?
Kiri atau kanan? Berdasarkan hukum newton I, tubuh akan condong
ke kanan,
untuk menyeimbangkan
gaya tarik kekiri agar
kita tidak jatuh. Namun, biasanya, yang membonceng akan lebih condong ke depan! Entah motor
akan
menikung ke kanan atau
ke
kiri.
Hal ini tentu
menyalahi hukum, baik itu hukum newton I maupun kaidah agama.
2.
Di bentuknya kelas motivasi (motivation class),
yang dalam hal ini lebih
menekankan pada penggugahan
motivasi internal peserta didik.
Mengingat bahwa motivasi internal dari seseorang
itu
akan berimbas sangat dashyat pada sistem
keyakinan, sedangkan sistem
keyakinan akan turut menentukan budaya kerja dari
orang
tersebut. Yang pada akhirnya akan
bermuara pada pembentukan karakter .
3.
Menambah mata kuliah tentang
pendidikan moral,
meski
tidak
diberi beban SKS
namum mahasiswa dipersyaratkan
lulus mata kuliah
tersebut.
4.
Mata kuliah
yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral
hendaknya lebih aplikatif, tidak
hanya text book semata.
5.
Menyeimbangkan porsi
antara materi kuliah akal (cerdas)
dan
hati (moral).
Sehingga akan manghasilkan pendidik-pendidik yang tidak hanya unggul
secara intelektual tetapi juga unggul
secara moral.
Pendidikan
moral penting
sebagai
salah satu
alternatif pembentukan
karakter yang kuat bagi seorang calon pendidik, karena mahasiswa yang dipersiapkan sebagai calon pendidik perlu mendapatkan
penekanan khusus
mengenai pendidikan moral sebagai bekal untuk menjadi
“orang-orang
dewasa” yang nantinya akan
berinteraksi dengan peserta didik.
Perlu Kami Rekomendasikan
Kepada
1.
Sehubungan dengan
pentingnya pembinaan moral di usia Sekolah, dimohonkan untuk lebih awal
menggembleng para pendidik dan calon pendidik yang ideal untuk itu.
2.
Dalam prakteknya, agar
proses pendidikan moral akan berjalan dengan baik, maka diperlukan dukungan
dari akademisi sekolah, mulai dari Kepala Sekolah, guru, karyawan sekolah dan
orang tua siswa.
3.
Pendidikan berkarakter
hendaknya diberikan penekanan khusus dari stake holder terkait untuk membuat
kebijakan yang serta merta menjadikan perhatian yang lebih bagi guru, siswa dan
orang tua wali.
4. Kepada lembaga
pendidikan Formal lainnya hendaknya selalu meneladani lembaga lain yang cukup
berhasil dalam penerapan pendidikan berkarakter
Penulis
Deni Ranoptri.
Guru SD Negeri 2 Garagata
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah
KARYA ILMIAH
0 Comments
Posting Komentar
Mohon tidak berkomentar dengan link aktif, dan kami mohon maaf apabila komentarnya tidak kami setujui atau bahkan kami hapus
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.