Kamis, 25 April 2013

GURU YANG BERKARAKTER UNTUK PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER



Oh aku kini rindu
Pada satu nama yang berjasa
Tuhan beri kekuatan
Untuk mendidikku selamanya
Ku pohon restu kasih-Mu
Ampunkanlah guru-guruku ........(Inteam-Lilin Seorang Guru)


Bagaimana perasaan seorang guru jika setiap murid yang pernah ia didik memanjatkan doa kebaikan untuknya. Tentu sangat membahagiakan bukan. Betapa bersyukurnya jika mereka masih selalu mengenang dan mengambil inspirasi pelajaran yang pernah ia sampaikan dahulu sehingga pahala selalu mengalir untuknya. Mereka selalu mengenang kebaikan para gurunya dan hampir tidak pernah memperhitungkan kesalahan yang diperbuat. Betapa membanggakannya. Itulah harapan dari semua orang yang pernah merasakan dirinya menjadi seorang pendidik.

Namun demikian, marilah kita lihat fenomena yang terjadi saat ini. Jika kita bertanya pada sekian siswa yang sedang menjalani pendidikan, maka jangan heran bila kita dapati sebagian besar siswa akan mengatakan bahwa gurunya killer, gurunya sudah membosankan, gurunya sudah jarang turun  ditambah cuma ngasih tugas melulu,   dan sebagainya. Intinya mereka mengatakan bahwa guru yang mengajar mereka belum dapat
memuaskan” mereka dalam memahami ilmu dan kehidupan.

Berawal dari fenomena ini, kita dapat menelusuri jejak-jejak para guru berasal. Kita batasi saja bahwa mereka berasal dari kampus ilmu pendidikan. Lebih khusus lagi mereka berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau yang sepadan dengannya.
Saat ini, suasana kehidupan dunia pendidikan di Indonesia umumnya mulai mengalami degradasi dari segi moral. Realita bahwa profesi guru adalah profesi yang menjanjikan kesejahteraan semakin memperburuk wajah universitas yang bertugas menelurkan calon-calon pendidik masa depan di Indonesia  ini.  Disadari  atau  tidak,  sekarang  orang  mulai  berlomba-lomba untuk meraih profesi mulia” ini meskipun harus mengorbankan kejujuran dan nilai-nilai kemuliaan itu sendiri. Dan esensi menjadi seorang pendidik yang sebenarnya seolah tersisihkan oleh lekangan kepribadian mentah.


Kesempurnaan penciptaan manusia dibanding makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah adanya bekal cipta, rasa dan karsa. Kesempurnaan fisik yang dianugerahkan, kecerdasan otak dan bersemayamnya hati dalam diri kita, sepatutnya disyukuri. Adanya bekal yang tidak perlu dibeli itu, akan berkembang positif bila diolah  berdasarkan  keinginan  dan  kemauan  untuk belajar. Menilik hal tersebut, guru yang digugu dan ditiru” harus ingat dengan tugasnya sebagai pendidik profesional. Tidak hanya cerdas dalam penguasaan materi,  terampilnya  berkomunikasi  dan  berinteraksi,  tetapi  jangan menyisihkan kecerdasan moral yang akan menjadi cermin siswa dalam berperilaku.
Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia,… . Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Bambang Santoso dkk, 2006:69). Dalam kamus psikologi, dinyatakan bahwa karakter adalah keprbadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral (Dali Gulo, 1982:29). Jadi, dari kedua pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa baik buruknya perilaku manusia secara tidak langsung menunjukkan karakter dari manusia tersebut.
Dalam  fase  kehidupan  manusia  seorang  pendidik  mempunyai  andil pada proses pembentukan karakter. Guru yang memiliki makna digugu lan ditiru (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter pada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peseta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. (M. Furqon Hidayatullah,2009:15)

Untuk  dapat  mengarahkan  peserta  didik  dalam  membentuk  karakter yang kuat dalam dirinya, seorang pendidik diharpkan menjadi pendidik yang inspiratif. Pendidik yang keberadaannya memberikan semangat berkreativitas dan menjadi inspirasi bagi para peserta didiknya. Dwi Budiyanto dalam bukunya  yang  berjudul  Prophetic  Lerning,  mengungkapkan  beberapa  ciri guru  yang inspiratif,  yaitu:  aktif, dialogis  dalam  berkomunikasi  di  dalam kelas sehingga tidak hanya satu arah dari guru saja, fokus pada potensi yang dimiliki oleh mitra belajar, memberikan pemecahan masalah (hasil) dengan menerapkan struktur berfikir ilmiah, menerapkan berbagai macam cara dalam mengajar, dan menganggap orang lain sebagai sahabat dan mitra belajar.

tugas akhir mahasiswa baik dalam bentuk paper atau dalam bentuk penelitian skripsi  bukan  menjadi  sebuah  maha  karya  bagi  sang  mahasiswa  melainkan menjadi mega proyek bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (PENDIDIKAN KEGURUAN YANG LEPAS KENDALI, Ftamans Blog)

Mahasiswa ternyata juga berperilaku tidak jauh berbeda dengan siswa. Sepertinya kebiasaan     mencontek     telah     terdidik     sejak     mereka     masih     sebagai siswa…. (Mahasiswa dan Nyontek, Wayan Suanas Blog, 12 Desember 2009)

Di Semarang seorang guru bernama Rusmiati menghukum muridnya untuk memakan kertas.
Kertas yang seharusnya digunakan untuk membuat model ketrampilan tangan itu harus dimakan para murid kelas 3B SDN Purwosari 02A-B, bila tidak mereka tidak diperbolehkan mengikuti ujian tengah semester.
Sayang setelah memakan kertas itu, mereka tetap saja tidak boleh mengerjakan ujian sekolah.

Guntur bin Slamet, seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Bekasi, Jawa Barat, tega menggauli siswanya di dalam kelas. Atas perbuatannya, guru MI itu pun digelandang petugas.

Guru, konon katanya digugu dan ditiru. Barangkali itu dulu. Tapi sekarang?. Nanti dulu. Walau pun saya yakin masih banyak guru yang jujur dan bermoral tinggi tapi rasa-rasanya tidak sedikit pula yang sudah krisis moralitas di kalangan mereka, khususnya sudah keranjingan materi dan menjadi korup. Padahal, beliau-beliau punya gelar akademis mulia seperti S.Pd atau M.Pd.http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/08/krisis-moralitas-guru-kini/ (online) 


Kalau selama ini ada peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau peribahasa tersebut menjadi “Guru cabul, murid ….”. Tidak perlu diteruskan, karena yang kita inginkan hal itu tidak terulang lagi di
 
lembaga pendidikan kita. Lalu bagaimana solusinya? Apakah seorang guru, khususnya guru pria mesti menjalani tes kejiwaan dan psikologi layaknya seorang polisi yang akan memegang senjata api? Tentunya yang kita harapkan jangan sampai separah itu, bukan? http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/04/cabul-profesionalisme-oknum-guru-dipertanyakan/ (online)



Dari beberapa kutipan artikel di atas, dapat dilihat bahwa kondisi moral mahasiswa sebagai calon pendidik perlu mendapatkan perhatian. Hal ini juga menunjukkan terjadinya ketidakseimbangan antara pengembangan pendidikan hati (moral) dan akal (kecerdasan) yang secara fitrah melekat pada manusia. Penurunan kualitas moral mahasiswa sebagai calon pendidik ini terjadi karena kurangnya kesadaran mahasiswa sebagai calon pendidik untuk menaati nilai dan moral yang ada di lingkungan sekitar, keadaan ini diperparah oleh kurangnya  upaya  penanaman  nilai  dan  moral  oleh  orang-orang  dewasa  disekitarnya.

Dalam perkembangannya, peran dari orang-orang dewasa sebagai tempat berinteraksi sangat berpengaruh. Perkembangan moral tidak bergantung terutama pada upaya-upaya pendidikan karakter yang eksplisit tetapi pada kematangan  dan  kapasitas  etis  orang-orang  dewasa  yang  menjadi    teman
mereka berinteraksi khususnya orangtua, tetapi juga guru, pendamping dan orang-orang dewasa dalam masyarakat lainya.(Robert E.Slavin, 2008:78)
Mahasiswa yang dipersiapkan sebagai calon pendidik dirasa perlu mendapatkan penekanan khusus mengenai pendidikan moral sebagai bekal untuk menjadi orang-orang dewasa yang nantinya akan berinteraksi dengan peserta didik.
Pemahaman seseorang akan pentingnya   moral sangat berpengaruh terhadap  pembentukan  karakter orang tersebut.  Dengan  asumsi  yang sama, ketika calon pendidik memiliki karakter yang kuat maka akan terbentuk anak didik yang berkarakter kuat pula.
Upaya untuk mengurangi degradasi moral dikalangan Guru dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.        Secara implisit, yakni dengan menyisipkan nilai nilai moral di setiap perkuliahan.
Misal: Dalam mata kuliah IPA. Pada pembahasan materi Hukum Newton I yakni tentang kekonsistenan gerak pada benda, nilai moral  yang  dapat  disisipkan.  Contoh:  Ketika  kita  berboncengan,  saat motor menikung ke kiri, maka  tubuh kita akan lebih condong ke mana? Kiri atau kanan? Berdasarkan hukum newton I, tubuh akan condong ke kanan,  untuk  menyeimbangkan  gaya tarik  kekiri  agar  kita tidak  jatuh. Namun, biasanya, yang membonceng akan lebih condong ke depan! Entah motor  akan  menikung  ke  kanan  atau  ke  kiri.  Hal  ini  tentu  menyalahi hukum, baik itu hukum newton I maupun kaidah agama.
2.        Di bentuknya kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik.
Mengingat bahwa motivasi internal dari seseorang itu akan berimbas   sangat   dashyat   pada   sistem   keyakinan,   sedangkan   sistem keyakinan akan turut menentukan budaya kerja dari  orang tersebut. Yang pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan karakter .
3.        Menambah  mata  kuliah  tentang  pendidikan  moral,  meski  tidak  diberi beban SKS namum mahasiswa dipersyaratkan lulus mata kuliah tersebut.
4.        Mata  kuliah  yang  substansinya  sudah  mengandung  nilai-nilai  moral hendaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata.
5.        Menyeimbangkan porsi antara materi kuliah akal (cerdas) dan hati (moral). Sehingga akan manghasilkan pendidik-pendidik yang tidak hanya unggul secara intelektual tetapi juga unggul secara moral.

Pendidikan  moral  penting  sebagai  salah  satu  alternatif  pembentukan karakter yang kuat bagi seorang calon pendidik, karena mahasiswa yang dipersiapkan sebagai calon pendidik perlu mendapatkan penekanan khusus mengenai pendidikan moral sebagai bekal untuk menjadi  orang-orang dewasa yang nantinya akan berinteraksi dengan peserta didik.

Perlu Kami Rekomendasikan Kepada
                        1.          Sehubungan dengan pentingnya pembinaan moral di usia Sekolah, dimohonkan untuk lebih awal menggembleng para pendidik dan calon pendidik yang ideal untuk itu.
             2.        Dalam prakteknya, agar proses pendidikan moral akan berjalan dengan baik, maka diperlukan dukungan dari akademisi sekolah, mulai dari Kepala Sekolah, guru, karyawan sekolah dan orang tua siswa.
                       3.          Pendidikan berkarakter hendaknya diberikan penekanan khusus dari stake holder terkait untuk membuat kebijakan yang serta merta menjadikan perhatian yang lebih bagi guru, siswa dan orang tua wali.
                   4.          Kepada lembaga pendidikan Formal lainnya hendaknya selalu meneladani lembaga lain yang cukup berhasil dalam penerapan pendidikan berkarakter 


Penulis
Deni Ranoptri.
Guru SD Negeri 2  Garagata 
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan


disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
KARYA ILMIAH
 


 


0 Comments

Posting Komentar

Mohon tidak berkomentar dengan link aktif, dan kami mohon maaf apabila komentarnya tidak kami setujui atau bahkan kami hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.