Sambil menikmati secangkir kopi di sore ini, saya teringat pembicaraan tadi pagi pada seorang Guru yang cukup senior dan sudah berpangkat dan golongan Pembina IV/a, seakan beliau menceritakan atau curhat lah tentang profesi yang di tekuni terutama mengenai hal pelatihan bagi Guru buat menunjang profesionalisme serta kompetensi yang mereka miliki guna meningkatkan kemampuan dalam proses pembelajaran,
Beliau mengakui selama
jadi Guru hanya satu kali ikut pelatihan untuk menunjang kompetensi dan itu pun
hanya di tingkat kabupaten.
“kayapa lah lagi cara mengajar yang baik, ulun sudah
jua belajar tapi ulun handak banar di umpatkan penataran kah, atau apalah
ngarannya, biar tapintar jua tuh jadi guru.
Sebab ulun neh salama diangkat jadi Guru tahun 1979, hanya sakali suah
taumpat pelatihan itu gin di Kabupaten haja”. Ungkap beliau.
Ironis bagi saya yang jauh kalah senior di banding beliau
tentu berpikir bagaimana nasib saya dan kawan lainnya, padahal semua sama
niatnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa namun kemampuan kok tidak merata,
apa memang Guru SD tidak usah banyak-banyak di tatar, atau di berikan
pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi nya.
Gelisah pemikiran saya tidak hanya sampai disitu
saking penasaran pada siang ini, sehabis pulang dari sekolah bikin secangkir
kopi, langsung nyalakan laptop berharap modem saya tak habis kouta nya, karena
saking inginnya bertanya kepada Om Goggle, Kenapa Guru SD minim Pelatihan ?
Sekitar 62 persen dari 1.700 guru sekolah dasar yang
disurvei di 20 kabupaten/kota tidak pernah mendapatkan pelatihan. Adapun guru
di kota besar rata-rata hanya mengikuti pelatihan satu kali dalam lima tahun.
Bahkan, ditemukan guru pegawai negeri sipil yang mendapatkan pelatihan terakhir
tahun 1980.
Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti memaparkan
hasil survei itu pada Rabu (5/12) di Kantor Indonesia Corruption Watch,
Jakarta. ”Kualitas guru rendah bukan salah guru,” kata Retno. Itu karena
kapasitasnya tidak dibangun melalui pelatihan. ”Tidak perlu memakai uji
kompetensi guru, kami sudah tahu kalau kualitas guru memang kurang,” lanjutnya.
Hal itu di benarkan pula oleh Kepala Pusat
Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Unifah Rosyidi.
Menurut dia, tugas itu seharusnya dilakukan oleh
pemerintah daerah karena sejak otonomi daerah, penanganan guru SD menjadi
tanggung jawab daerah.
”Daerah bertanggung jawab pada proses perekrutan hingga remunerasi guru, sedangkan pemerintah pusat bertanggung jawab pada sertifikasi guru, memastikan ketersediaan guru, dan merancang kebutuhan guru,” ujar Unifah. http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/06/11482752/Mayoritas.Guru.SD.Minim.Pelatihan
”Daerah bertanggung jawab pada proses perekrutan hingga remunerasi guru, sedangkan pemerintah pusat bertanggung jawab pada sertifikasi guru, memastikan ketersediaan guru, dan merancang kebutuhan guru,” ujar Unifah. http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/06/11482752/Mayoritas.Guru.SD.Minim.Pelatihan
Nah..Loh...
Rame dah saling lempar tanggung jawab, namun kalau
demikian apa sih yang terjadi di Daerah dengan otonomi nya menyangkut
meningkatkan kompetensi Guru SD khususnya, yang berada pada garda terdepan
dalam proses pengajaran pendidikan Dasar.
Temuan penelitian Guru SD di Daerah juga memperkuat fakta
bahwa guru memang memiliki keterbatasan waktu
untuk melengkapi semua komponen data fisik, selain keterbatasan fasilitas.
Bukti-bukti fisik dalam hal penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan,
keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan
dan sosial, dan karya pengembangan profesi semakin sulit terpenuhi, sebab kesempatan-kesempatan tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua guru.
Kesulitan-Kesulitan Penyebab Kegagalan Guru SD dalam artikel Jurnal LP3/
digilib.fip.um.ac.id Oleh T Triwiyanto.
Kalau sudah menyangkut kebijakan daerah agak
ngeri-ngeri sedap membahasnya karena selama saya jadi guru, saya rasa banyak
saja pelatihan yang melibatkan Guru SD, tapi mengapa kok banyak yang belum di
ikutkan padahal kegiatan-kegiatan itu ada kok, dan cukup banyak, Lantas mengapa
Guru SD tetap minim pelatihan ? melihat hasil simpulan penelitian diatas
terutama pada kalimat tersebut. “Kesempatan-kesempatan
tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua guru”.
Saya berpikiran bukan Guru SD tak punya waktu ikut
pelatihan bukan pula memang tak ada waktu pelatihan buat Guru SD namun ada
beberapa kebiasaan daerah yang selalu menanamkan konsep Spesialisasi Guru untuk
mengikuti pelatihan ini sudah menyangkut kepercayaan lembaga atau pribadi
bahkan keluarga karena yang saya tahu pelatihan bukan didik kemampuan
kompetensinya saja atau dapat piagam maupun sertifikat guna angka kredit namun
ada uang saku nya. Siapa sih yang tak mau, tentu ada saja namun yang pasti
banyak yang suka. akhirnya banyak Guru
SD yang lain belum merasakannya, hal ini juga membuat tidak adanya regenerasi
Guru dengan kualitas merata pada unit kerjanya padahal mereka sama tugasnya dan
sama tanggung jawabnya, namun perlakuan berbeda.
Saya berharap pemerintah daerah lewat dinas
pendidikan bisa adil seadilnya untuk membagi porsi yang sama pada semua guru SD
itu pun harus berani untuk meninggalkan konsep spesialisasi Guru, kalau tidak
demikian maka yang tertinggal akan semakin tertinggal dan sangat beda walau di
sampaikan hasil pelatihan di forum KKG,KKKS atau yang lainnya untuk share hasil
pelatihan dengan pengalaman yang di dapat bagi guru yang di ikutkan pelatihan
langsung.
Penulis : Deni Ranoptri
Guru SDN 2 Garagata
0 Comments
Posting Komentar
Mohon tidak berkomentar dengan link aktif, dan kami mohon maaf apabila komentarnya tidak kami setujui atau bahkan kami hapus
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.