Pemerintah akhirnya menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). RUU yang sejak 2 tahun lalu mulai dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR ini merupakan RUU Inisiatif Komisi II DPR RI. Berikutnya pembahasan masih akan berlanjut di pihak DPR RI.
Secara umum RUU ASN bertitik tolak dari semangat
perubahan dalam kerangka reformasi birokrasi. Menurut Wakil Menteri
Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (WamenPAN-RB) Eko Prasodjo perubahan
yang dimaksud tidak hanya meliputi sistem, struktur, dan manajemen
SDM, tetapi juga perubahan budaya, pola pikir, dan perilaku birokrasi
itu sendiri.
Eko Prasodjo lebih lanjut menjelaskan perubahan
tersebut meliputi pertama : penanaman budaya kinerja dan budaya
pelayanan, kedua : cara pandang terhadap PNS sebagai sebagai sebuah
profesi yang memiliki standar pelayanan profesi, kode etik profesi, dan
pengembangan kompetensi profesi, ketiga : mereduksi atau mengikis
gejala pengaruh politik, hubungan kekerabatan, hubungan ekonomi, dan
berbagai relasi lain dalam manajemen SDM serta keempat : menegakkan
integritas dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang dalam birokrasi.
Tentu semangat besar yang positif tersebut perlu
mendapat dukungan nyata demi tercapainya tujuan dasar penyusunan RUU ASN
tersebut yakni menempatkan pegawai ASN sebagai sebuah profesi yang
harus memiliki standar pelayanan profesi, nilai dasar, kode etik dan
kode perilaku profesi, pendidikan dan pengembangan profesi, serta
memiliki organisasi profesi yang dapat menjaga nilai-nilai dasar
profesi.
Pertanyaannya adalah apakah kerangka dan substansi
keseluruhan dari RUU ASN tersebut telah siap dan tepat untuk menjalankan
misi perubahan dengan tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas ?
Bagaimana potensi hubungan antara RUU ASN dengan Undang-Undang lain yang
terkait dengan kepegawaian dan sistem kelembagaan pemerintah pada
bidang tertentu ? Apakah semua ketentuan yang ada di dalam RUU ASN telah
dijamin tepat untuk diterapkan secara umum (general) tanpa
memperhatikan kekhususan pada bidang-bidang tertentu tersebut ?
Pembagian Kelompok Pegawai Menurut RUU ASN
Pada bagian lain WamenPAN-RB mengatakan untuk
memperkuat sistem merit dalam birokrasi, pegawai ASN kelak akan terdiri
dari PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan
basis utama kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Namun yang perlu dicatat
adalah penjelasan selanjutnya bahwa berbeda dengan istilah pegawai
honorer atau pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS.
Hal ini sejalan dengan keterangan MenPAN-RB, Azwar
Abukabar bahwa dalam RUU ASN tidak ada lagi tenaga honorer dan
semacamnya, yang ada hanya 2 bentuk yakni PNS dan PPPK.
Dari keterangan ke-2 pimpinan Kementerian PAN-RB tersebut menjadi jelas bahwa
semangat Pemerintah cq Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN)
dalam konsepsi Undang-Undang Kepegawaian baru bernama RUU ASN tersebut
adalah “mengurung” tenaga-tenaga tertentu
yang telah mengabdi pada negara dengan menempatkan mereka pada wadah
bernama Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), apalagi jika
pasal sisipan 99 A benar-benar ditetapkan keberadaannya.
Kelembagaan Penyuluhan dan Penyuluh Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2006
Undang-Undang
No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (UUSP3K) telah menata dan membagi kelembagaan penyuluhan dalam
tiga jalur yakni kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan
penyuluhan swasta dan kelembagaan penyuluhan swadaya. Pada kenyataannya
hingga saat ini kelembagaan penyuluhan yang tertata dari Pusat hingga
Kecamatan barulah kelembagaan penyuluhan pemerintah. Itupun pada
beberapa lini belum semua terwujud sesuai bentuk yang digariskan
Undang-Undang.
Sejalan dengan
pembagian kelembagaan penyuluhan tersebut UUSP3K juga telah menetapkan 3
jenis penyuluh yakni : 1. Penyuluh PNS, 2. Penyuluh Swasta, dan 3.
Penyuluh Swadaya.
Untuk bidang
penyuluhan pertanian, saat ini kelembagaan penyuluhan pertanian
pemerintah memiliki personil Penyuluh Pertanian PNS sebanyak 27.697
orang. Mengingat jumlah desa di Indonesia adalah sebanyak 72.143 desa
maka jumlah kekurangan Penyuluh PNS adalah sebanyak 44.446 personil.
Kekurangan ini sebagian diisi oleh Penyuluh Pertanian Honorer sebanyak
1.251 personil dan sebagian lagi dalam jumlah relatif besar diisi oleh
Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP)
sebanyak – jumlah saat ini – 21.585 personil. Penambahan tenaga penyuluh
dari THL TBPP ini merupakan wujud dukungan Pemerintah Pusat yang
merekrut tenaga kontrak tersebut pada tahun 2006 – 2008 yang selanjutnya
diperbantukan pada lembaga penyuluhan di Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia.
Sebagai petugas
penyuluh yang melaksanakan tugas pada jalur kelembagaan penyuluhan
pemerintah, maka THL TBPP ini memiliki tupoksi dan beban kerja yang sama
dengan Penyuluh Pertanian PNS. Dalam kerangka hukum dan dasar kebijakan
UUSP3K mestilah tenaga penyuluh THL TBPP ini dipandang sebagai tenaga
penyangga strategis yang bersifat transisi akibat kekurangan petugas
Penyuluh Pertanian PNS. Setelah 5 – 7 tahun mengabdi mestinya juga ada
penanganan yang memperjelas status kerja mereka sesuai dengan kerangka
dan substansi UUSP3K.
Maka atas
kesadaran kolektif bahwa menjadi hak mereka untuk memperjuangkan status
kerja yang jelas dan dengan pemahaman bahwa memperjuangkan aspirasi
merupakan hak yang dilindungi oleh Undang Undang Dasar 1945 dan diatur
secara teknis di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, maka sekitar 7000
– 10.000 THL TBPP se-Indonesia datang dan berkumpul di sebuah ruang
kosong di depan Pintu Utama Monumen Nasional Jakarta, 27 Juni 2013
untuk menyuarakan aspirasi mereka. Penyampaian aspirasi yang mereka
namakan Aksi Kebulatan Tekad THL TBPP se-Indonesia ini, langsung
mendapat perhatian Pemerintah. Sepuluh perwakilan THL TBPP pada aksi
tersebut diminta datang ke Kantor Sekretariat Negara. Setelah pada
kesempatan pertama mereka diterima dan berdialog dengan Kepala Bidang
Organisasi Kemasyarakatan Setneg, beberapa menit kemudian para wakil THL
TBPP ini diarahkan untuk berdialog langsung dengan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dan
Menteri Pertanian (Mentan).
Nasib dan Kejelasan Masa Depan THL TBPP di Ambang Waktu Pemberlakuan RUU ASN
Dalam dialog tersebut para wakil THL TBPP
memaparkan aspirasinya secara jelas dan gamblang bahwa mereka
menginginkan status kepegawaian yang pasti dalam bingkai hukum UUSP3K
yakni status Penyuluh Pertanian PNS, sebuah posisi dimana mereka secara
defacto telah mengemban dan menjalankan tugas-tugas serupa selama ini,
dengan landasan pelaksanaan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999.
Namun dalam tanggapannya MenPAN-RB mengatakan THL
TBPP harus mengikuti prosedur test untuk bisa menempati posisi formasi
Penyuluh Pertanian PNS. Bagi yang tidak memenuhi ketentuan atau tidak
lolos seleksi test tersebut akan diarahkan ke dalam wadah PPPK. Di
sinilah kebuntuan dialog itu terjadi. THL TBPP masih tetap dalam
keyakinan dan pemahaman bahwa berdasarkan ketentuan UUSP3K dan dasar
implementasi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 2013 mereka berhak untuk
diarahkan langsung ke formasi Penyuluh Pertanian PNS. Sementara
MenPAN-RB tetap bersikukuh bahwa era pengangkatan langsung sudah usai
dengan terbitnya PP No. 56 Tahun 2012 yang hanya berlaku untuk 4
kategori yang semuanya berbasis batas waktu perekrutan sebelum tahun
2005, sementara THL TBPP direkrut antara tahun 2006/2007 – 2008/2009.
Beberapa Aspek Penting yang Luput dari Perhatian MenPAN-RB
1. Pada era akhir 1990-an hingga pertengahan
2000-an banyak sekali terjadi perekrutan tenaga honorer di umumnya
lembaga pemerintah di daerah, terutama tenaga guru. Hal sebaliknya yakni
penyusutan jumlah terjadi pada petugas penyuluh pertanian. Puncak
penyusutan jumlah penyuluh pertanian terjadi pada tahun 2007 di mana
hanya ada 24.908 petugas penyuluh pertanian PNS pasca diberlakukannya UU
Otonomi Daerah. Atas dasar itulah kemudian direkrut sekitar 25.000 THL
TBPP se-Indonesia. Maka dalam hal ini patut menjadi keheranan kenapa
pihak KemenPAN-RB tetap bersikukuh pada patokan waktu tahun 2005
sehingga THL TBPP terlewat dari pengaturan pengangkatan langsung menjadi
PNS pada PP 56 Tahun 2012.
2. Berdasarkan substansi ketentuan THL TBPP jelas
memenuhi Pasal 16 A ayat 1 yang kemudian diperkuat lagi oleh ketentuan
jenis penyuluh pada Pasal 20 ayat 1 dan ketentuan pengangkatan penyuluh
PNS pada Pasal 20 ayat 2 dan penjelasannya pada UUSP3K. Jika kemudian
THL TBPP yang sudah mengabdi 5 – 7 tahun dan pada saat perekrutannya
telah melalui mekanisme test tulis secara nasional, maka masa pengabdian
selama sekian tahun dan standar perekrutan test tulis secara nasional
tersebut tidak memiliki nilai positif sedikitpun dalam padangan pihak
KemenPAN-RB.
3. Masih perlu kajian mendalam apakah penerapan
pembagian pegawai ASN nantinya ke dalam kelompok PNS dan PPPK akan tepat
bila diterapkan pada kelembagaan pemerintah tertentu seperti
kelembagaan penyuluhan pertanian ? Jika dalam satu atap kelembagaan
penyuluhan pertanian terdapat 2 kelompok penyuluh dengan tupoksi dan
beban kerja yang sama, tapi yang satu berstatus PNS dan yang lain PPPK –
yang tentunya dengan hak-hak yang berbeda, bukankah dalam jangka
panjang akan memunculkan sekat psikologis secara nyata dan implikasinya
tentu tidak akan sederhana?
4. Pemunculan tenaga penyuluh dengan wujud PPPK
secara permanen di dalam kelembagaan penyuluhan pemerintah dengan
sendirinya akan bertentangan ketentuan jenis penyuluh sebagaimana diatur
di dalam UUSP3K. UUSP3K adalah dokumen negara yang legal dan sah serta
masih segar berlaku hingga saat ini, sementara RUU ASN baru rancangan.
Oleh karena itu wajar bila beberapa ketentuan di dalam RUU ASN khususnya
pengelompokan pegawai patut dan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
tertentu yang terkait di dalam UUSP3K.
Pemerintah bersama DPR masih perlu mengkaji lebih
mendalam dan lebih serius menyangkut hal-hal khusus semacam ini jika
memang RUU ASN akan diarahkan untuk membangun SDM Pemerintah yang
profesional dan sekaligus memiliki jiwa kesatuan yang kuat. Dalam hal
ini Kementerian Pertanian dan komunitas THL TBPP yang secara nyata
merupakan tenaga penyangga utama dalam jumlah yang signifikan untuk
mendukung dan melengkapi tugas-tugas Penyuluh Pertanian PNS selama 5 – 7
tahun terakhir ini, perlu dilibatkan dan didengar suaranya secara
jernih dan obyektif dalam pembahasan-pembahasan yang menyangkut
ketenagaan pada jalur kelembagaan pemerintah.
Terakhir, pemerintah masih menyisakan pekerjaan
yang belum dirampungkan terkait implementasi UUSP3K yakni menyangkut
ketentuan Pasal 40 Bab XIII Ketentuan Penutup, di mana Pasal tersebut
menyebutkan : “Peraturan Pelaksanan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan”. Peraturan pelaksanaan tersebut tentu wajib mengatur teknis
segala ketentuan yang ada di UUSP3K termasuk diantaranya amanat
memprioritaskan pengangkatan penyuluh PNS demi memenuhi kekurangan
kelompok tenaga tersebut di lapangan sesuai Pasal 20 ayat 2.
Nah, jika UUSP3K diterbitkan atau disahkan pada
tanggal 15 Nopember 2006 oleh Presiden kemudian diundangkan pada hari
yang sama oleh Menkum dan HAM, maka batas penetapan peraturan
pelaksanaan tersebut seharusnya berada pada titik waktu 15 Nopember
2007. Sekarang, hari ditulisnya catatan opini ini adalah tanggal 12 Juli
2013. Berarti sudah sangat lama (hampir 7 tahun) keterlambatan itu
berlangsung.
Nur Samsu
Penulis adalah Koordinator Tim Kajian Hukum
Status Kepegawaian THL TBPP pada FORUM KOMUNIKASI THL TBPP NASIONAL dan
Anggota Bidang Advokasi dan Hukum FORUM KOMUNIKASI THL TBPP JAWA TIMUR
Referensi
0 Comments
Posting Komentar
Mohon tidak berkomentar dengan link aktif, dan kami mohon maaf apabila komentarnya tidak kami setujui atau bahkan kami hapus
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.